MEDIA TRADISIONAL
A. Pengertian Media Tradisional
Dongeng adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di Indonesia. Pada masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng tersebut selalu ada, karena merupakan bagian dari kebudayaan lisan di Indonesia. Bagi para ibu mendongeng merupakan cara berkomunikasi dengan putra-putri mereka, terutama untuk menanamkan nilai-nilai sosial, yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Di berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya, tudung sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan sebuah instrumen tradisional seperti kentongan yang masih banyak digunakan di Jawa. Instrumen ini dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang mengandung makna yang berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran, pencurian dan sebagainya, kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia dibunyikan dengan irama-irama tertentu.
Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan ini Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua kesenian rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).
B. Ragam Media Tradisional
Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:
a. Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
b. Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
c. Puisi rakyat;
d. Nyayian rakyat;
e. Teater rakyat;
f. Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g. Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h. Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secra apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu televisi swasta.
C. Fungsi Media Tradisional
William Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai media tradisional adalah sebagai berikut:
Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena mempunyai kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemapuannya memperistri ”makhluk halus”. Rakyat tidak boleh menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai Parang Kusumo.
Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi. Cerita ”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian sosial terhadap norma dan nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak bicara namun sedikit kerja.
Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan iniini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat (Direktorat Penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988).
Ranganath (1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera. Ranganath juga memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa pesan-pesan modern.
Eapen (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media ini tidak akan menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karana ia mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi,1988) menambahkan bahwa media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi yang berada di luar jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.
D. Keberadaan Media Tradisional
Pada masa silam, media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting. Kinipenampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:
1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan televisi.
2. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Surutnya media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah.
Untuk mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia ketiga menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake, dalam Jahi, 1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekuarangan ini menjadi kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.
Situasi ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju. Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.
Perhatian para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia ketiga dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai ditelusuri. UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional secara terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja bersama masyarakat. Yang tujuan utamanya tidak hanya bersifat pengembangan sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976)
Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami kerugian besar, jika tidak didukung oleh media tradisional.
E. Peran Media Tradisional dalam Sistem Komunikasi
Media tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun musik yang ditampilkan (Compton, 1984).
Kesulitan tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi yang hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial (Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).
Walaupun demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli memperingatkan bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan bagi maksud-maksud pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak media itu, sehingga kita harus waspada (Dissanayake, 1977). Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk maksud pembangunan, sebanrnya ialah bagaimana menjaga agar media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi 1988).
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional bagi kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog, dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai media penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episode-episode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera misalnya bahasa jawa, Sunda, atau Bali yang diiringi nyanyian dan musik yang spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih tradisional, wayang lebih daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang sebagai perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu Belanda, Presiden Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju Kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Amri Jahi, 1988, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga, PT Gramedia, Jakarta
Abdul Muis, 1984, Communicating New Ideas to Traditional Villagers: an Indonesian Case, Media Asia 11
Ranganath, 1976, Telling the People Tell Themselves, Media Asia 3
Wednesday, May 26, 2010
Monday, May 24, 2010
Revisi Proposal Metode Penelitian Sosial
PENGARUH KEKUATAN PERSUASI MEDIA MASSA TERHADAP FENOMENA OBSESI MENJADI IDOLA
(PADA MAHASISWA KOMUNIKASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG)
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu elemen yang tidak dapat terpisahkan dalam dunia modern, media saat ini telah menjadi instrumen paling penting dalam memberikan mimpi bagi sebagian besar orang untuk menjadi populer secara instan dalam waktu singkat. Masih segar dalam ingatan ketika ajang Akademi Fantasi Indosiar muncul untuk kali pertama, disusul Indonesian Idol, dan lain sebagainya. Saat ini, acara yang serupa pun masih tetap ada dengan varian yang semakin banyak. Media dalam hal ini turut andil dalam menyebarkan demam ajang pencarian bakat, lihat saja betapa orang berbondong-bondong datang dan mendaftar dalam berbagai ajang tersebut.
Tentu saja media tidak hanya berperan membuat orang terkenal dalam berbagai kontes, bahkan dalam yang ‘menguras air mata’ pun media turut ambil bagian. Media menjadikan kisah sedih hidup seseorang menjadi suatu komoditas jual yang laris dipasaran, di mana terdapat berbagai acara yang menjadikan air mata dan kehidupan sedih yang terlalu didramatisasi sebagai nilai jual. Acara seperti Kejamnya Dunia menjual tragedi drama kehidupan manusia, maupun acara Termehek-mehek yang menjual kisah sedih percintaan. Tentu saja komersialisasi air mata tidak selalu berkaitan dengan acara yang ‘menyedihkan’, namun juga dalam acara yang ‘menggembirakan’. Ketika salah satu peserta AFI dieliminasi, media menjadikan air mata yang keluar sebagai nilai tambah acara tersebut, demikian pula ketika seorang perempuan dinobatkan sebagai Putri Indonesia, air mata pun kembali menjadi komoditas utama. Media dalam hal ini berperan sebagai pisau bermata ganda, di satu sisi media menjadi jalan bagi semua orang untuk menjadi idola dalam waktu instan, namun di sisi yang lain acara tersebut pun, tidak dapat dipungkiri, memiliki nilai jual yang cukup tinggi.
Demam obsesi menjadi idola telah berlangsung di Indonesia cukup lama, hanya saja gaungnya sangat terasa dalam enam tahun ke belakang. Ketika Akademi Fantasi Indosiar untuk kali pertama muncul pada tahun 2000, ribuan orang dari berbagai profesi dan tingkatan umur menyerbu Indosiar, demikian pula ketika Indonesian Idol dilaksanakan untuk musim pertama. Ajang pencarian bakat memang bukan hal baru, sebelumnya telah kontes-kontes yang sama. Asia Bagus tahun 1992 misalnya, berhasil menelurkan Krisdayanti sebagai salah satu pemenang dan tetap eksis hingga saat ini.
Negara Indonesia boleh jadi merupakan negara yang memiliki media massa yang sangat kreatif ketimbang negara Asia lainnya. Media di Indonesia memiliki kebebasan untuk menciptakan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan media itu sendiri, meskipun dalam banyak hal mereka pun seringkali mengatasnamakan masyarakat luas. Begitu luasnya pengaruh media di masyarakat sehingga dapat dipungkiri bahwa media telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur media menyuguhkan berbagai varian acara melalui berbagai medium, apakah itu televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya. Sebagai bagian integral dalam kehidupan masusia modern, media turut serta dalam berbagai usaha menyampaikan informasi, bahkan media telah bertindak lebih jauh, media menjadi penghantar paling baik dalam menyebarkan “demam” di masyarakat.
Kasus ‘obsesi jadi bintang’ adalah salah satu kasus yang paling baik yang dapat dilihat, betapa media telah menjadi penghantar yang sangat sempurna dalam menyebarkan demam idol tersebut. Demam itu tidak hanya menyebar di wilayah perkotaan besar, namun juga di kota-kota kecil hingga ke pelosok pedalaman dan desa terpencil. Media merupakan wahana penyampaian informasi yang luar biasa luas dan dapat diakses oleh siapapun, tentu saja dengan satu syarat bahwa sarana penyebarannya sudah dapat dijangkau. Rasanya sulit menemukan satu wilayah yang sepenuhnya terisolir dari media, terutama televisi.
Media memberikan jalan yang sangat luas bagi siapapun untuk menjadi orang terkenal, tidak peduli apa jenis kelamin anda, berapa umur anda, atau bagaimana kondisi anda saat ini. Berbagai acara ajang pencarian bakat memang memberikan jalan bagi setiap orang untuk mencapai impiannya, namun bagaimana dengan mereka yang secara fisik ‘tidak sempurna?’, media pun memberikan jalan bagi orang-orang semacam ini. Pernah kah merasa tersentuh ketika melihat acara Jalinan Kasih atau Kejamnya Dunia? Media memiliki peran yang luar biasa yang membuat mereka menjadi artis mendadak dengan penampilan yang riil. Terlepas dari fakta bahwa mereka bukan lah golongan yang beruntung atau berlimpah secara materi, namun media menjadikan kisah sedih hidup mereka sebagai komoditas jual.
Air mata memang medium yang menarik sebagai salah satu komoditas jual yang luar biasa. Ketika Nania dinyatakan harus kalah dari Delon dan Joy semua pendukung Nania menangis, meskipun Nania tidak lah secara dramatis menangis berderai air mata di panggung, namun aura kesedihan memang menyeruak hebat. Indra Lesmana bahkan secara pribadi menyatakan akan membuatkan satu lagu untuk Nania, terlepas dari motif di balik tindakan tersebut, namun setidaknya Indra berusaha mengurangi kesedihan Nania. RCTI sebagai penyelenggara memang agak mendramatisir kekalahan Nania, tiba-tiba dalam waktu satu minggu Nania telah menjadi selebritis baru, dirinya masuk dalam acara infotainmen dan menjadi perbincangan banyak orang.
Tingkah laku penggemar yang menangis ketika jagoannya tersisih atau bahkan menang tidak hanya terjadi di Indonesia. Ketika David Cook dinyatakan sebagai pemenang American Idol mengalahkan David Archuleta, semua orang menangis, baik pendukung Cook dan Archuleta menangis, meskipun dengan alasan yang berbeda. Air mata telah berubah menjadi komoditas penting yang membuat ajang pencarian bakat lebih menarik untuk disaksikan. Saya pun menyadari betapa hambarnya acara ini jika tanpa diiringi oleh drama, air mata, dan isak tangis; justru hal ini lah yang membuat acara ini disebut reality show, sebuah acara yang mempertunjukkan realitas sebagaimana adanya.
Teori yang dapat digunakan untuk menganalisa fenomena obsesi menjadi idola di atas adalah Teori Jarum Hipodermik (hypodermic needle theory). Menurut teori ini media massa mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk mempersuasi audiencenya dan menganggap audiencenya pasif. Dan dari audience yang pasif akan persuasi dari tayangan-tayangan ajang pencarian bakat tersebut muncul individu-individu yang terobsesi menjadi idola seperti apa yang mereka lihat di media massa.
Dari latar belakang masalah di atas, penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena demam menjadi idola yang sedang melanda tidak hanya generasi muda saja tetapi semua generasi.
B. Rumusan Masalah
1. Adakah pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola pada mahasiswa komunikasi UMM?
2. Sejauhmana pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola pada mahasiswa komunikasi UMM?
C. Tujuan
1. Ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena demam menjadi idola pada mahasiswa komunikasi UMM.
2. Ingin mengetahui sejauhmana pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena demam menjadi idola pada mahasiswa komunikasi UMM.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian adalah follow up penggunaan informasi yang tertera dalam kesimpulan (Dhofir, 2000:21).
Dari setiap penelitian yang dilakukan dipastikan dapat memberi manfaat baik bagi objek, atau peneliti khususnya dan juga bagi seluruh komponen yang terlibat didalamnya. Manfaat atau nilai guna yang bisa diambil dari penulisan proposal penelitian sosial ini adalah :
1. Segi Teoritis
a. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam disiplin ilmu komunikasi.
b. Untuk memperkuat teori bahwa kekuatan persuasi media massa dalam efek pengaruh media massa sangat mempengaruhi audience.
2. Segi Praktis
a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan audience terutama mahasiswa komunikasi dapat menyaring efek dari persuasi media massa yang sangat kuat pengaruhnya khususnya pada fenomena demam menjadi idola.
b. Hasil dari Penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang tentang kebiasaan efek dari persuasi media massa terhadap fenomena demam menjadi idola sehingga mereka mampu untuk melihat realita yang ada.
c. Sebagai bahan munaqosyah dan bahan dokumen untuk penelitian lebih lanjut.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk mempelajari media massa khususnya kekuatan persuasinya, harus diakui bahwa peran gatekeeper sangatlah vital dalam melayani konsumennya. Faktanya, media massa muncul untuk meyakinkan tingkah laku, nilai dan maksud pengirim adalah kepentingan lebih besar daripada penerima. Dalam literature komunikasi massa terdapat teori yang disebut teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory) atau teori peluru (bullet theory). Teori ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat yang mengasumsikan bahwa para pengelola media dianggap sebagai orang yang lebih pintar dibanding audience. Akibatnya, audience bisa dikelabui sedemikian rupa dari apa yang disampaikan media massa.
Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa audience bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki media atau dengan kata lain audience dianggap pasif. Intinya, sebagaimana dikatakan oleh Jason dan Anne Hill (1997), media massa dalam teori Jarum Hipodermik mempunyai efek langsung “disuntikkan” ke dalam ketidaksadaran audience.
Berbagai perilaku yang diperlihatkan televisi dalam adegan filmnya member rangsangan masyarakat untuk menirunya. Padahal semua orang tahu bahwa apa yang disajikan itu semua bukan yang terjadi sebenarnya. Akan tetapi, kerena begitu kuat pengaruh televisi, audience tidak kuasa untuk melepaskan diri dari keterpengaruhan itu. Jika dibandingkan dengan media massa lain, televisi sering dituduh sebagai agen yang bisa mempengaruhi lebih banyak sikap dan perilaku audiencenya.
- Dalam melakukan kegiatan komunikasi, seorang komunikator yang melakukan kegiatan persuasi (bujukan) dan sering dikatakan bahwa sebetulnya kegiatan komunikator ketika menyampaikan pesan itu sama dengan kegiatan pembujuk atau persuader. Artinya, bagi pemberi pesan melakukan persuasi tersebut merupakan tujuan dari proses komunikasi yang dilakukan dan persuasi (komunisuasi) itu merupakan proses belajar yang bersifat emosional atau perpindahan anutan dari hal yang lama ke hal yang baru melalui penanaman suatu pengertian dan pemahaman. Menurut Otto Lerbinger di dalam bukunya Design for persuasive communication, ada beberapa model untuk merekayasa persuasi, antara lain sebagai berikut.
a. Stimulus Respons
Model persuasi ini cara yang paling sederhana, yaitu berdasarkan konsep asosiasi. Misalnya jika seseorang selalu kelihatan berdua terus-menerus sepanjang waktu dan satu saat hanya terlihat sendiri, maka orang lain akan merasakan ada sesuatu yang kurang lengkap dan sudah dipastikan orang akan bertanya ke mana temannya itu. Melalui slogan atau magic word tertentu dalam iklan seperti kata-kata “three in one”, orang akan ingat pembatasan penumpang minimal tiga orang dalam satu mobil ketika melewati Jalan Protokol, Jalan Tamrin, dan Jalan Sudirman, Jakarta pada jam tertentu.
Oleh karena itu, untuk mengingatkan orang, kata-kata populer “Three in one” tersebut digunakan pada produk shampoo, Dimension.
b. Kognitif
Model ini berkaitan dengan nalar, pikiran dan rasio untuk peningkatan pemahaman, mudah dimengerti, dan logis bisa diterima. Dalam melakukan persuasi pada posisi ini, komunikator dan komunikan lebih menekankan penjelasan yang rasional dan logis. Artinya, ide atau informasi yang disampaikan tersebut tidak bisa diterima sebelum dikenakan alasan yang jelas dan wajar.
c. Motivasi
Motivasi yaitu persuasi dengan model membujuk seseorang agar mau mengubah opininya atau agar kebutuhan yang diperlukan dapat terpenuhi dengan menawarkan sesuatu ganjaran tertentu. Dengan memotivasi melalui pujian, hadiah, dan iming-iming janji tertentu melalui berkomunikasi, maka lambat-laun orang bersangkutan bisa mengubah opininya.
d. Sosial
Model persuasi ini menganjurkan pada pertimbangan aspek sosial dari publik atau komunikan, artinya pesan yang disampaikan itu sesuai dengan status sosial yang bersangkutan sehingga proses komunikasi akan lebih mudah dilakukan. Misalnya, kampanye iklan mobil mewah lebih berhasil kalau menonjolkan sesuatu yang “prestise” daripada menampilkan kelebihan mesin dan irit bahan bakarnya karena konsumen berduit lebih memperhatikan penampilan status sosialnya.
e. Personalitas
Model persuasi di sini memperhatikan karakteristik pribadi sebagai acuan untuk melihat respon dari khalayak tertentu.
- Fenomena dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat", dalam bahasa Indonesia bisa berarti:
1. Gejala, misalkan gejala alam
2. Hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra
3. Hal-hal mistik atau klenik
4. Fakta, kenyataan, kejadian.
- Obsesi menurut kamus Wikipedia merupakan dorongan semangat untuk berbuat, memiliki atau mencapai sesuatu. Dalam hal ini obsesi yang dimaksudkan adalah dorongan semangat untuk menjadi seorang idola.
- Menurut kamus idola berasal dari kata Bahasa Inggris idol yang artinya ialah berhala, atau patung.
- Mengikut takrifan kamus Oxford (Edisi ketiga 2001), IDOL dalam bahasa Inggris idola membawa maksud patung; berhala; pujaan; orang atau benda yang terlampau disanjung. Dalam konteks pengunaan, perkataan ini lebih sesuai menjurus kepada pemujaan benda, patung atau berhala.
F. Hipotesis
Karena masalah yang diteliti ini merupakan usaha untuk mencari ada tidaknya pengaruh, maka ada dua hipotesis yang muncul, yakni :
- Hipotesis kerja (H0) :
Adanya pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola (pada mahasiswa komunikasi UMM).
- Hipotesis nihil (H1) :
Tidak ada pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola (pada mahasiswa komunikasi UMM).
G. Ruang Lingkup Penelitian
1. Ruang Lingkup Materi
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola (pada mahasiswa komunikasi UMM).
Maka untuk mempermudah penulis dalam membahas penelitian ini, perlu kiranya penulis membuat batasan ruang lingkup materi. Adapun permasalahan yang menjadi kajian pokok dalam penelitian ini adalah terdiri dari dua variable, yakni :
• Variabel X : Kekuatan persuasi media massa
• Variable Y : Fenomena obsesi menjadi idola (pada mahasiswa komunikasi UMM).
2. Ruang Lingkup Subjek
Subjek penelitian adalah sesuatu yang menjadi kajian pokok penelitian. Maka dari ini yang menjadi subjek adalah mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.
3. Ruang Lingkup Lokasi
Lokasi adalah tempat sesuatu berada. Maka dalam hal ini adalah tempat subjek berada. Jadi lokasi penelitian ini adalah di FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
4. Ruang Lingkup Waktu
Waktu adalah masa kapan terjadinya sesuatu. Dalam hal ini waktu penelitian adalah pada tahun 2010.
H. Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Dalam kegiatan penelitian, kerangka atau rancangan penelitian merupakan unsur pokok yang harus ada sebelum proses penelitian dilaksanakan. Karena dengan sebuah rancangan yang baik pelaksanaan penelitian menjadi terarah, jelas, dan maksimal.
Terkait dengan penelitian ini, maka penulis menggunakan jenis penelitian korelasional kuantitatif, yaitu sebuah penelitian yang menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan dari hasilnya yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara dua variabel (Arikunto, 2006:270).
2. Teknik Penentuan Subjek Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian populasi, dimana seluruh populasi merupakan sample.
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang mencakup semua elemen dan unsur-unsur (Dhofir, 2000:36). Sedangkan sampel masih dalam buku yang sama, adalah sebagian subjek penelitian yang memiliki kemampuan mewakili seluruh data (populasi).
Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.
3. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan data dengan menggunakan metode-metode tertentu. Metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian ini, antara lain :
a. Metode Angket
Angket adalah suatu teknik atau alat pengumpul data yang berbentuk pertanyaan-pertanyaan tertulis yang harus dijawab secara tertulis pula (Sukmadinata, 2004:271). Metode ini digunakan untuk mencari dan menyaring data yang bersumber dari responden.
Di sini peneliti akan memberikan 20 pertanyaan dalam bentuk pilihan ganda berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Angket akan disebarkan sebanyak 25% dari jumlah populasi subjek yaitu 25 angket untuk 25 koresponden.
b. Metode Wawancara
Wawancara atau interview merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara tatap muka, pertanyaan diberikan secara lisan dan jawabannyapun diterima secara lisan pula (Sukmadinata, 2004:222). Dengan metode ini peneliti dapat langsung mengetahui reaksi yang ada pada responden dalam waktu yang relatif singkat.
Metode wawancara digunakan peneliti untuk menambahkan hasil data. Peneliti akan melakukan wawancara kepada 25% dari jumlah populasi subjek sama dengan koresponden yang dibagikan angket.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan pengelolaan data dari data-data yang sudah terkumpul. Diharapkan dari pengelolaan data tersebut dapat diperoleh gambaran yang akurat dan konkrit dari subjek penelitian. Penulis juga menggunakan statistik guna membantu analisa data sebagai hasil dari penelitian ini.
Dalam penelitian ini yang menjadi Variabel X adalah Kekuatan Persuasi Media Massa, sedangkan Variabel Y adalah Fenomena Obsesi Menjadi Idola (pada Mahasiswa UMM). Adapun rumus korelasi yang digunakan adalah Product Moment, dengan alasan karena penelitian ini terdiri dari dua variabel yang interval dan memiliki korelasi.
Rumus product momentnya adalah sebagai berikut :
∑xy
πxy = √(∑x²) (∑y²)
Keterangan :
πxy = Kofisien korelasi antara gejala X dan gejala Y
∑xy = Jumlah product X dan Y
∑x² = Jumlah gejala x kecil kuadrat
∑y² = Jumlah gejala y kecil kuadrat
Daftar Pustaka
Dhofir, Syarqowi, 2000. Pengantar Metodologi Riset Denagn Spektrum Islami, Prenduan: Iman Bela
Fisher, B. Aubrey, 1986. Teori-teori Komunikasi. Penyunting: Jalaluddin Rakhmat, Penerjemah: Soejono Trimo. Bandung: Remaja Rosdakarya.
http://accentesensi.wordpress.com/2008/08/06/obsesi-cita-cita-dan-ambisi/
http://forumm.wgaul.com/archive/index.php/t-30833.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomena
http://id.wikipedia.org/wiki/Idol
Mulyana, Dedy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurudin, M.Si, 2009. Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: Rajawali Pers
Purwadarminto, W.J.S Winkel; 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Sukmadinata, Nana Syaodih; 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya
(PADA MAHASISWA KOMUNIKASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG)
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu elemen yang tidak dapat terpisahkan dalam dunia modern, media saat ini telah menjadi instrumen paling penting dalam memberikan mimpi bagi sebagian besar orang untuk menjadi populer secara instan dalam waktu singkat. Masih segar dalam ingatan ketika ajang Akademi Fantasi Indosiar muncul untuk kali pertama, disusul Indonesian Idol, dan lain sebagainya. Saat ini, acara yang serupa pun masih tetap ada dengan varian yang semakin banyak. Media dalam hal ini turut andil dalam menyebarkan demam ajang pencarian bakat, lihat saja betapa orang berbondong-bondong datang dan mendaftar dalam berbagai ajang tersebut.
Tentu saja media tidak hanya berperan membuat orang terkenal dalam berbagai kontes, bahkan dalam yang ‘menguras air mata’ pun media turut ambil bagian. Media menjadikan kisah sedih hidup seseorang menjadi suatu komoditas jual yang laris dipasaran, di mana terdapat berbagai acara yang menjadikan air mata dan kehidupan sedih yang terlalu didramatisasi sebagai nilai jual. Acara seperti Kejamnya Dunia menjual tragedi drama kehidupan manusia, maupun acara Termehek-mehek yang menjual kisah sedih percintaan. Tentu saja komersialisasi air mata tidak selalu berkaitan dengan acara yang ‘menyedihkan’, namun juga dalam acara yang ‘menggembirakan’. Ketika salah satu peserta AFI dieliminasi, media menjadikan air mata yang keluar sebagai nilai tambah acara tersebut, demikian pula ketika seorang perempuan dinobatkan sebagai Putri Indonesia, air mata pun kembali menjadi komoditas utama. Media dalam hal ini berperan sebagai pisau bermata ganda, di satu sisi media menjadi jalan bagi semua orang untuk menjadi idola dalam waktu instan, namun di sisi yang lain acara tersebut pun, tidak dapat dipungkiri, memiliki nilai jual yang cukup tinggi.
Demam obsesi menjadi idola telah berlangsung di Indonesia cukup lama, hanya saja gaungnya sangat terasa dalam enam tahun ke belakang. Ketika Akademi Fantasi Indosiar untuk kali pertama muncul pada tahun 2000, ribuan orang dari berbagai profesi dan tingkatan umur menyerbu Indosiar, demikian pula ketika Indonesian Idol dilaksanakan untuk musim pertama. Ajang pencarian bakat memang bukan hal baru, sebelumnya telah kontes-kontes yang sama. Asia Bagus tahun 1992 misalnya, berhasil menelurkan Krisdayanti sebagai salah satu pemenang dan tetap eksis hingga saat ini.
Negara Indonesia boleh jadi merupakan negara yang memiliki media massa yang sangat kreatif ketimbang negara Asia lainnya. Media di Indonesia memiliki kebebasan untuk menciptakan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan media itu sendiri, meskipun dalam banyak hal mereka pun seringkali mengatasnamakan masyarakat luas. Begitu luasnya pengaruh media di masyarakat sehingga dapat dipungkiri bahwa media telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur media menyuguhkan berbagai varian acara melalui berbagai medium, apakah itu televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya. Sebagai bagian integral dalam kehidupan masusia modern, media turut serta dalam berbagai usaha menyampaikan informasi, bahkan media telah bertindak lebih jauh, media menjadi penghantar paling baik dalam menyebarkan “demam” di masyarakat.
Kasus ‘obsesi jadi bintang’ adalah salah satu kasus yang paling baik yang dapat dilihat, betapa media telah menjadi penghantar yang sangat sempurna dalam menyebarkan demam idol tersebut. Demam itu tidak hanya menyebar di wilayah perkotaan besar, namun juga di kota-kota kecil hingga ke pelosok pedalaman dan desa terpencil. Media merupakan wahana penyampaian informasi yang luar biasa luas dan dapat diakses oleh siapapun, tentu saja dengan satu syarat bahwa sarana penyebarannya sudah dapat dijangkau. Rasanya sulit menemukan satu wilayah yang sepenuhnya terisolir dari media, terutama televisi.
Media memberikan jalan yang sangat luas bagi siapapun untuk menjadi orang terkenal, tidak peduli apa jenis kelamin anda, berapa umur anda, atau bagaimana kondisi anda saat ini. Berbagai acara ajang pencarian bakat memang memberikan jalan bagi setiap orang untuk mencapai impiannya, namun bagaimana dengan mereka yang secara fisik ‘tidak sempurna?’, media pun memberikan jalan bagi orang-orang semacam ini. Pernah kah merasa tersentuh ketika melihat acara Jalinan Kasih atau Kejamnya Dunia? Media memiliki peran yang luar biasa yang membuat mereka menjadi artis mendadak dengan penampilan yang riil. Terlepas dari fakta bahwa mereka bukan lah golongan yang beruntung atau berlimpah secara materi, namun media menjadikan kisah sedih hidup mereka sebagai komoditas jual.
Air mata memang medium yang menarik sebagai salah satu komoditas jual yang luar biasa. Ketika Nania dinyatakan harus kalah dari Delon dan Joy semua pendukung Nania menangis, meskipun Nania tidak lah secara dramatis menangis berderai air mata di panggung, namun aura kesedihan memang menyeruak hebat. Indra Lesmana bahkan secara pribadi menyatakan akan membuatkan satu lagu untuk Nania, terlepas dari motif di balik tindakan tersebut, namun setidaknya Indra berusaha mengurangi kesedihan Nania. RCTI sebagai penyelenggara memang agak mendramatisir kekalahan Nania, tiba-tiba dalam waktu satu minggu Nania telah menjadi selebritis baru, dirinya masuk dalam acara infotainmen dan menjadi perbincangan banyak orang.
Tingkah laku penggemar yang menangis ketika jagoannya tersisih atau bahkan menang tidak hanya terjadi di Indonesia. Ketika David Cook dinyatakan sebagai pemenang American Idol mengalahkan David Archuleta, semua orang menangis, baik pendukung Cook dan Archuleta menangis, meskipun dengan alasan yang berbeda. Air mata telah berubah menjadi komoditas penting yang membuat ajang pencarian bakat lebih menarik untuk disaksikan. Saya pun menyadari betapa hambarnya acara ini jika tanpa diiringi oleh drama, air mata, dan isak tangis; justru hal ini lah yang membuat acara ini disebut reality show, sebuah acara yang mempertunjukkan realitas sebagaimana adanya.
Teori yang dapat digunakan untuk menganalisa fenomena obsesi menjadi idola di atas adalah Teori Jarum Hipodermik (hypodermic needle theory). Menurut teori ini media massa mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk mempersuasi audiencenya dan menganggap audiencenya pasif. Dan dari audience yang pasif akan persuasi dari tayangan-tayangan ajang pencarian bakat tersebut muncul individu-individu yang terobsesi menjadi idola seperti apa yang mereka lihat di media massa.
Dari latar belakang masalah di atas, penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena demam menjadi idola yang sedang melanda tidak hanya generasi muda saja tetapi semua generasi.
B. Rumusan Masalah
1. Adakah pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola pada mahasiswa komunikasi UMM?
2. Sejauhmana pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola pada mahasiswa komunikasi UMM?
C. Tujuan
1. Ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena demam menjadi idola pada mahasiswa komunikasi UMM.
2. Ingin mengetahui sejauhmana pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena demam menjadi idola pada mahasiswa komunikasi UMM.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian adalah follow up penggunaan informasi yang tertera dalam kesimpulan (Dhofir, 2000:21).
Dari setiap penelitian yang dilakukan dipastikan dapat memberi manfaat baik bagi objek, atau peneliti khususnya dan juga bagi seluruh komponen yang terlibat didalamnya. Manfaat atau nilai guna yang bisa diambil dari penulisan proposal penelitian sosial ini adalah :
1. Segi Teoritis
a. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam disiplin ilmu komunikasi.
b. Untuk memperkuat teori bahwa kekuatan persuasi media massa dalam efek pengaruh media massa sangat mempengaruhi audience.
2. Segi Praktis
a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan audience terutama mahasiswa komunikasi dapat menyaring efek dari persuasi media massa yang sangat kuat pengaruhnya khususnya pada fenomena demam menjadi idola.
b. Hasil dari Penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang tentang kebiasaan efek dari persuasi media massa terhadap fenomena demam menjadi idola sehingga mereka mampu untuk melihat realita yang ada.
c. Sebagai bahan munaqosyah dan bahan dokumen untuk penelitian lebih lanjut.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk mempelajari media massa khususnya kekuatan persuasinya, harus diakui bahwa peran gatekeeper sangatlah vital dalam melayani konsumennya. Faktanya, media massa muncul untuk meyakinkan tingkah laku, nilai dan maksud pengirim adalah kepentingan lebih besar daripada penerima. Dalam literature komunikasi massa terdapat teori yang disebut teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory) atau teori peluru (bullet theory). Teori ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat yang mengasumsikan bahwa para pengelola media dianggap sebagai orang yang lebih pintar dibanding audience. Akibatnya, audience bisa dikelabui sedemikian rupa dari apa yang disampaikan media massa.
Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa audience bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki media atau dengan kata lain audience dianggap pasif. Intinya, sebagaimana dikatakan oleh Jason dan Anne Hill (1997), media massa dalam teori Jarum Hipodermik mempunyai efek langsung “disuntikkan” ke dalam ketidaksadaran audience.
Berbagai perilaku yang diperlihatkan televisi dalam adegan filmnya member rangsangan masyarakat untuk menirunya. Padahal semua orang tahu bahwa apa yang disajikan itu semua bukan yang terjadi sebenarnya. Akan tetapi, kerena begitu kuat pengaruh televisi, audience tidak kuasa untuk melepaskan diri dari keterpengaruhan itu. Jika dibandingkan dengan media massa lain, televisi sering dituduh sebagai agen yang bisa mempengaruhi lebih banyak sikap dan perilaku audiencenya.
- Dalam melakukan kegiatan komunikasi, seorang komunikator yang melakukan kegiatan persuasi (bujukan) dan sering dikatakan bahwa sebetulnya kegiatan komunikator ketika menyampaikan pesan itu sama dengan kegiatan pembujuk atau persuader. Artinya, bagi pemberi pesan melakukan persuasi tersebut merupakan tujuan dari proses komunikasi yang dilakukan dan persuasi (komunisuasi) itu merupakan proses belajar yang bersifat emosional atau perpindahan anutan dari hal yang lama ke hal yang baru melalui penanaman suatu pengertian dan pemahaman. Menurut Otto Lerbinger di dalam bukunya Design for persuasive communication, ada beberapa model untuk merekayasa persuasi, antara lain sebagai berikut.
a. Stimulus Respons
Model persuasi ini cara yang paling sederhana, yaitu berdasarkan konsep asosiasi. Misalnya jika seseorang selalu kelihatan berdua terus-menerus sepanjang waktu dan satu saat hanya terlihat sendiri, maka orang lain akan merasakan ada sesuatu yang kurang lengkap dan sudah dipastikan orang akan bertanya ke mana temannya itu. Melalui slogan atau magic word tertentu dalam iklan seperti kata-kata “three in one”, orang akan ingat pembatasan penumpang minimal tiga orang dalam satu mobil ketika melewati Jalan Protokol, Jalan Tamrin, dan Jalan Sudirman, Jakarta pada jam tertentu.
Oleh karena itu, untuk mengingatkan orang, kata-kata populer “Three in one” tersebut digunakan pada produk shampoo, Dimension.
b. Kognitif
Model ini berkaitan dengan nalar, pikiran dan rasio untuk peningkatan pemahaman, mudah dimengerti, dan logis bisa diterima. Dalam melakukan persuasi pada posisi ini, komunikator dan komunikan lebih menekankan penjelasan yang rasional dan logis. Artinya, ide atau informasi yang disampaikan tersebut tidak bisa diterima sebelum dikenakan alasan yang jelas dan wajar.
c. Motivasi
Motivasi yaitu persuasi dengan model membujuk seseorang agar mau mengubah opininya atau agar kebutuhan yang diperlukan dapat terpenuhi dengan menawarkan sesuatu ganjaran tertentu. Dengan memotivasi melalui pujian, hadiah, dan iming-iming janji tertentu melalui berkomunikasi, maka lambat-laun orang bersangkutan bisa mengubah opininya.
d. Sosial
Model persuasi ini menganjurkan pada pertimbangan aspek sosial dari publik atau komunikan, artinya pesan yang disampaikan itu sesuai dengan status sosial yang bersangkutan sehingga proses komunikasi akan lebih mudah dilakukan. Misalnya, kampanye iklan mobil mewah lebih berhasil kalau menonjolkan sesuatu yang “prestise” daripada menampilkan kelebihan mesin dan irit bahan bakarnya karena konsumen berduit lebih memperhatikan penampilan status sosialnya.
e. Personalitas
Model persuasi di sini memperhatikan karakteristik pribadi sebagai acuan untuk melihat respon dari khalayak tertentu.
- Fenomena dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat", dalam bahasa Indonesia bisa berarti:
1. Gejala, misalkan gejala alam
2. Hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra
3. Hal-hal mistik atau klenik
4. Fakta, kenyataan, kejadian.
- Obsesi menurut kamus Wikipedia merupakan dorongan semangat untuk berbuat, memiliki atau mencapai sesuatu. Dalam hal ini obsesi yang dimaksudkan adalah dorongan semangat untuk menjadi seorang idola.
- Menurut kamus idola berasal dari kata Bahasa Inggris idol yang artinya ialah berhala, atau patung.
- Mengikut takrifan kamus Oxford (Edisi ketiga 2001), IDOL dalam bahasa Inggris idola membawa maksud patung; berhala; pujaan; orang atau benda yang terlampau disanjung. Dalam konteks pengunaan, perkataan ini lebih sesuai menjurus kepada pemujaan benda, patung atau berhala.
F. Hipotesis
Karena masalah yang diteliti ini merupakan usaha untuk mencari ada tidaknya pengaruh, maka ada dua hipotesis yang muncul, yakni :
- Hipotesis kerja (H0) :
Adanya pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola (pada mahasiswa komunikasi UMM).
- Hipotesis nihil (H1) :
Tidak ada pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola (pada mahasiswa komunikasi UMM).
G. Ruang Lingkup Penelitian
1. Ruang Lingkup Materi
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaruh kekuatan persuasi media massa terhadap fenomena obsesi menjadi idola (pada mahasiswa komunikasi UMM).
Maka untuk mempermudah penulis dalam membahas penelitian ini, perlu kiranya penulis membuat batasan ruang lingkup materi. Adapun permasalahan yang menjadi kajian pokok dalam penelitian ini adalah terdiri dari dua variable, yakni :
• Variabel X : Kekuatan persuasi media massa
• Variable Y : Fenomena obsesi menjadi idola (pada mahasiswa komunikasi UMM).
2. Ruang Lingkup Subjek
Subjek penelitian adalah sesuatu yang menjadi kajian pokok penelitian. Maka dari ini yang menjadi subjek adalah mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.
3. Ruang Lingkup Lokasi
Lokasi adalah tempat sesuatu berada. Maka dalam hal ini adalah tempat subjek berada. Jadi lokasi penelitian ini adalah di FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
4. Ruang Lingkup Waktu
Waktu adalah masa kapan terjadinya sesuatu. Dalam hal ini waktu penelitian adalah pada tahun 2010.
H. Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Dalam kegiatan penelitian, kerangka atau rancangan penelitian merupakan unsur pokok yang harus ada sebelum proses penelitian dilaksanakan. Karena dengan sebuah rancangan yang baik pelaksanaan penelitian menjadi terarah, jelas, dan maksimal.
Terkait dengan penelitian ini, maka penulis menggunakan jenis penelitian korelasional kuantitatif, yaitu sebuah penelitian yang menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan dari hasilnya yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara dua variabel (Arikunto, 2006:270).
2. Teknik Penentuan Subjek Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian populasi, dimana seluruh populasi merupakan sample.
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang mencakup semua elemen dan unsur-unsur (Dhofir, 2000:36). Sedangkan sampel masih dalam buku yang sama, adalah sebagian subjek penelitian yang memiliki kemampuan mewakili seluruh data (populasi).
Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.
3. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan data dengan menggunakan metode-metode tertentu. Metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian ini, antara lain :
a. Metode Angket
Angket adalah suatu teknik atau alat pengumpul data yang berbentuk pertanyaan-pertanyaan tertulis yang harus dijawab secara tertulis pula (Sukmadinata, 2004:271). Metode ini digunakan untuk mencari dan menyaring data yang bersumber dari responden.
Di sini peneliti akan memberikan 20 pertanyaan dalam bentuk pilihan ganda berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Angket akan disebarkan sebanyak 25% dari jumlah populasi subjek yaitu 25 angket untuk 25 koresponden.
b. Metode Wawancara
Wawancara atau interview merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara tatap muka, pertanyaan diberikan secara lisan dan jawabannyapun diterima secara lisan pula (Sukmadinata, 2004:222). Dengan metode ini peneliti dapat langsung mengetahui reaksi yang ada pada responden dalam waktu yang relatif singkat.
Metode wawancara digunakan peneliti untuk menambahkan hasil data. Peneliti akan melakukan wawancara kepada 25% dari jumlah populasi subjek sama dengan koresponden yang dibagikan angket.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan pengelolaan data dari data-data yang sudah terkumpul. Diharapkan dari pengelolaan data tersebut dapat diperoleh gambaran yang akurat dan konkrit dari subjek penelitian. Penulis juga menggunakan statistik guna membantu analisa data sebagai hasil dari penelitian ini.
Dalam penelitian ini yang menjadi Variabel X adalah Kekuatan Persuasi Media Massa, sedangkan Variabel Y adalah Fenomena Obsesi Menjadi Idola (pada Mahasiswa UMM). Adapun rumus korelasi yang digunakan adalah Product Moment, dengan alasan karena penelitian ini terdiri dari dua variabel yang interval dan memiliki korelasi.
Rumus product momentnya adalah sebagai berikut :
∑xy
πxy = √(∑x²) (∑y²)
Keterangan :
πxy = Kofisien korelasi antara gejala X dan gejala Y
∑xy = Jumlah product X dan Y
∑x² = Jumlah gejala x kecil kuadrat
∑y² = Jumlah gejala y kecil kuadrat
Daftar Pustaka
Dhofir, Syarqowi, 2000. Pengantar Metodologi Riset Denagn Spektrum Islami, Prenduan: Iman Bela
Fisher, B. Aubrey, 1986. Teori-teori Komunikasi. Penyunting: Jalaluddin Rakhmat, Penerjemah: Soejono Trimo. Bandung: Remaja Rosdakarya.
http://accentesensi.wordpress.com/2008/08/06/obsesi-cita-cita-dan-ambisi/
http://forumm.wgaul.com/archive/index.php/t-30833.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomena
http://id.wikipedia.org/wiki/Idol
Mulyana, Dedy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurudin, M.Si, 2009. Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: Rajawali Pers
Purwadarminto, W.J.S Winkel; 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Sukmadinata, Nana Syaodih; 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya
Subscribe to:
Posts (Atom)